Kamis, 13 September 2012

“Kami Sedang Menyembah Tuhan, Mengapa Kami Dibunuh?”



Entah kemuliaan akhlak seperti apakah yang diinginkan anak manusia dengan kekerasan? dan entah surga bagaimanakah yang diangankan mereka, dengan membunuhi satu sama lainnya? Ribuan nyawa melayang, menjadi korban, demi untuk mendapatkan tiket ke surga bagi setiap diri masing-masing ?

Kesedihan, ketakberdayaan, ketakutan,  melukai nurani manusia di hati yang terdalam. Kekerasan atas manusia  tetap saja menyisakan ‘perih’ dan ‘nelangsa’. Melukai arti kemanusiaan itu sendiri.


Kisah dari sampang dan Sukabumi. Begitu juga penggalan kisah FPI dan juga Ahmadiyah. (Dan juga) Serta begitu banyaknya penyerta kisah-kisah lainnya,  yang senada dengan itu, mewarnai ‘suasana alam’ di   nusantara ini.  Membuat udara kota-kota di sini  semakin sesak dan  pekat saja.


Masih lengkang dalam ingatan, bagaimana  (ketika) perang dan kekerasan telah  ‘diminati” ~ jauh sebelumnya,  al  kisah yang terjadi di Suriah, Turki, dan juga sebagian Negara-negara Islam  yang tak tersebut bagaimana rinciannya. Sejarah juga telah banyak mencatat ‘kekekerasan’ dalam label perang’. Agresivitas dalam label kepahlawanan.


Sejak dari bapaknya manusia  Habil dan Kabil. Kekerasan ini, menjelajah ke seluruh semenanjung arab, asia, eropa, afrika,  dan merambah ke banyak sekali  negri-negri lainnya. Kekerasan yang  mengilhami setiap suku, ras  dan golongan. Menjadi identik dnegan mansuia itu sendiri.


Banyak sekali  perang-perang atas nama harta, tahta, wanita dan agama. Disisi lainya telah banyak melahirkan kisah kepahlawanan. Namun tidak sedikit yang menyisakan kesengsaraan. Dari perang Bratayuda sampai perang Fitnah Kubro (Perang Shifin). Dari Padang Kuruseta sampai Padang Karbala. Dari perang  Salib hingga sampai perang Dunia I dan Dunia II. Semua menamatkan jalan ceritanya, dengan satu ending ~ matinya ribuan korban manusia ! Dan tangisan keluarga yang ditinggalkan ! Tidakkah manusia tahu,  diantara serpihan peperangan  itu,  banyak sekali kisah sedih dan duka anak manusia, perihal perang ini ?.


Agresivitas manusia, menemukan muaranya dalam peperangan. Perang dan perang dari jaman dahulu hingga sampaipun jaman kini sama saja bentuk dan rupanya.  Inilah kisah tragedy dan keperkasaan manusia. Kisah kebanggaan satu kelompok diatas penderitaan kelompok lainnya.


Bergumulan diantara menang dan kalah. Selalu begitu muaranya. Kekalahan melahirkan kesedihan. Digilirkannya kemenangan akan melahirkan Pahlawan-pahlawan di setiap kelompoknya masing-masing. Menyisakan tanda tanya lagi di hati. Kisah kepahlawan dibangun dari sepihan daging dan darah ribuan anak manusia. Bahkan kadang mereka sendiri tak mengerti ‘perang’ ini untuk apa dan  siapa ?


Mayat lawannya di nista, mayat sekutunya di puja, Jasa pahlawan yang di ingat sepanjang masa. bahkan (bukankah  itu)  adalah mayat-mayat manusia.Tidakkah (karenanya) sama keadaannya ? Begitulah kejadiannya, potret peradaban manusia. Maka tak sedikit kemudian manusia bertanya mengapa Tuhan membiarkan semua ini terjadi. Di pihak manakah sesungguhnya Tuhan berada ?. Semua kelompok mengakui bahwa Tuhan ada di pihaknya. Maka karenanya mereka dengan teganya menghabisi nyawa manusia lainnya.


Untuk siapakah kemenangan yang diraih ? Apakah setiap kemenangan dalam peperanagan ini akan di hadiahi surga ? Bagaimana jika kekerasan di lakukan tidak dalam masa perang ? Sebagian manusia tak mengerti ada apakah dengan anak manusia. Begitu mudahnya mereka menghabisi sesamanya. Yang kalah meratapi,  namun itu tak membuat jera, diaturlah strategy, suatu saat akan dicoba lagi hingga sampai kemenangan nanti. Sebagai pembalasan dendam bagi yang mati. Artinya semakin banyak membunuhi lawan-lawannya, maka semakin besar kepuasan dan kemungkinan menang. Begitulah keadaannya.


Mengapa harus begitu ? Sungguh pertanyaan yang tak pernah ada habisnya, sepanjang  peradaban anak manusia itu sendiri. Jangankan manusia malaikat sendiri juga bertanya dalam kegundahan yang sama, bertanya  kepada Tuhannya;


Malaikat sudah jauh hari, mensinyalir sifat ‘kebuasan’ manusia yang haus darah. Manusia akan menumpahkan darah sesamanya. Inilah karakter ‘purba’ yang akan terus dibawa manusia sampai akhir jaman nanti. Manusia dalam setiap peradabannya akan senantiasa mencari ‘lawan’ untuk memuaskan‘ego’ dirinya. Sifat ‘kepahlawanan’ di bangun atas ‘kemenangan’ dalam peperangan. Menghancurkan atau mengalahkan lawan inilah ‘kemenangan’. Pahlawan dimaknai, jika mereka kembali dengan kemenagan yang gemilang di medan perang.


Setiap Pahlawan akan mendapatkan tempat tertinggi dalam kesadaran manusia. Setiap Pahlawan akan ‘dikenang’ dan di hadiahi ‘surga’. Maka setiap manusia dalam lubuk hatinya ingin menjadi Pahlawan. Dan karenanya,  setiap manusia mudah sekali di ‘kompori’ sifat ‘kepahlawanan’ dalam dirinya. Oleh karena itu, saat kepadanya diberikan tantangan untuk menjadi seorang ‘Pahlawan’, mereka dengan sukahati, meski harus rela menjadi  ‘mortir’. Menjadi seorang ‘Pahlawan kesiangan’ dalam anggapan kita.


Dengan cuci otak ‘model’ seperti inilah kaum radikalis, meminang para ‘penganten’nya. Dengan iming-iming predikat ‘pahlawan’ dan hadiah ‘surga’ bagi pelakunya dan  keadaan seperti ini bukanlah monopoli agama saja. Dalam perebutan wilayah dan kekuasaan, politik, serta lain-lainnya, juga menggunakan methode-methode seperti ini. Karena sebab (ke-ingin-an) menjadi ‘pahlawan’ adalah ‘fitrah’ manusia itu sendiri.


Maka di jaman sekarang ini, dimana perang perebutan wilayah sudah tidak jamannya lagi. Perang antara kerajaan dengan kerjaan sudah tidak disukai. Manusia mencari lahan baru dengan melebarkan ‘wilayah’. Perang antar umat beragama, perang antar keyakinan menjadi ‘mode’ terkini. Terjadi gesekan sedikit, perbedaan saja sudah menyult amarah dianatra mereka.


Maka teriakan, yang datang,“Kami Sedang Menyembah Tuhan, Mengapa Kami Dibunuhi ?.” Semakin saja menyayat hati, (yaitu) atas hati-hati tersembunyi  yang masih peduli akan nasib manusia di muka bumi ini.


Mereka yang  dianggap ‘GILA’


Sungguh, meskipun tidak ada kebaikan yang kita dapatkan dari perang. Nyatanya kekerasan dan peperangan telah mengajarkan banyak hal kepada manusia. Diantara sabetan pedang, dan desingan peluru, ada hati-hati yang penuh empati. Hati yang tidak pernah berpihak kepada siapa yang sedang bertikai. Mereka bahu membahu menolong yang terluka. Mereka menyelamatkan anak-anak, wanita dan orang tua. Membawa, menjauh dari medan pertempuran. Mereka nyaris tak memperdulikan nasibnya sendiri.


Mereka datang dari mana saja, dari suku apa saja, dari agama apa saja. Mereka datang mendatangi daerah-daerah konflik. Hati mereka begitu halus. Mereka tak peduli atas konflik apapun yang melatari peperangan itu. Mereka hanya datang demi kemanusiaan itu sendiri. Tekad mereka adalah menyelamatkan nyawa manusia. Tak peduli agama mereka apa, tak peduli bangsanya apa. Mereka sering bahkan di sebut ‘gila’ dengan perjuangan mereka itu. Namun sungguh mereka itu bukan orang ‘gila’. Merekalah orang-orang yang memiliki hati. Dengan tindakan nyata mereka menyelamatkan nyawa manusia.


Inilah salah satu karakter jiwa yang telah di tuliskan ‘tinta emas’  (baca; kebaikan) sehingga patut di symbolkan. Mereka sering luput dari bahasan kita. Mereka orang-orang yang tidak pernah mencari sensasi dan publikasi. Namun mereka selalu ada. Menyeruak diantara manusia-manusia biasa.


Kita sering mendengar, ada relawan luar negri yang berusaha menyelamatkan satwa-satwa yang hampir musnah. Merekla menyelamatkan binatang-binatang. Mereka tidak perduli jika di katakan ‘gila’, jauh-jauh datang dengan bekal bahasa minim, birokrasi yang sulit. Namun tekad mereka membaja, untuk menyelamatkan para binatang.


Begitu juga banyak sekali jiwa yang terpanggil, mengabdikan diri demi alam. Kerusakan pada alam terjadi disana-sini, membuat kkeprihatinan diri mereka untuk tampil memyelamatkan bumi. Kisah-kisah seperti ini juga sering kali luput dari pemberitaan. Mereka tidak memandang Negara manapun. Jika ada kerusakan alam, meraka selalu tampil di depan menyematkan bumi ini dari kerusakan, yang diakibatkan manusianya itu sendiri.


Perilaku ‘buas’ manusia atas manusia lainnya. Perilaku ‘penindasan’ kelompok manusia satu kepada kelompok manusia lainnya. Telah menyadarkan manusia-manusia ini. Untuk tampil menyelamatkan jiwa para korban konflik dimana saja.


Perilaku kesewenangan kekuasaan, kekuatan politik yang ‘menindas’, rakyatnya sendiri. Akan mengakibatkan ‘peradaban’ yang ‘chaos’. Jiwa-jiwa manusia di dalamnya akan mengalami ‘ketakutan’. Mereka akan melahirkan kesadaran kepada penerusnya, sebuah kesadaran kolektif, (yaitu) mentalitas yang ‘sakit’.


Dalam kegelapan tersebut ada saja, manusia yang berani mengingatkan penguasa. Keberanian mereka yang melawan penguasa. Keberanian mereka yang menetang arus. Keberanian mereka dalam menghadapi ‘main stream’arus kesadaran kolektif. Menyebabakan mereka di sangka ‘GILA’. Oleh kaumnya dan juga oleh kebanyakan teman-temannya dan juga dalam hal suasana lainnya. Perang yang tidak pernah disadari oleh manusia itu sendiri. Adalah perang pemikiran, perang kesadaran, yang menghancurkan ‘akal’ sehat manusia, ~yang telah mengakibatkan ‘kejumudan’ pemikiran. (Yaitu) Keadaan kesadaran mereka telah menyembah selain Tuhan. Dan mereka menganggap diri mereka menyembah Tuhan.


Inilah hakekat perang kesadaran. Para nabi datang mengingatkan penguasa, para pembesar istana, dan mengingatkan para kaum cendikia, para kaum yang mengusai massa.  Inilah perang yang pada gilirannya nanti dan saatnya pasti akan mengalami ‘titik’ balik. (Ketika) kesadaran kolektif berhadapan dengan kesadaran ‘suci’ ini.  (Meski pada awalnya, mereka para penentang penguasa dianggap gila).


Mansuia diajari dengan pengalaman-pengalaman ini, yang bergantian di setiap peradaban, menyebabkan manusia kemudian semakin cerdas, mampu membedakan yang baik dan buruk. Jiwa terus di sempurnakan dalam pengajaran ini. Sejarah telah banyak mencatat, mulai dari sekedar cerita ‘fantasi’ , dan juga kisah riil lainnya. Mulai dari cerita ‘epik’ cerita kepahlawan, atau lainnya semisal Mahabarata dan juga Ramayana. Juga pada kisah-kisah Bhagavat Gita. Bagaimana para kesatria berusaha mengabadikan diri demi mengangkat harkat kemanusiaan itu sendiri.


Seperti kisah yang terjadi pada Sidharta , bagaimana terjadi pergumulan serius pada jiwanya, melihat keadaan masyarakatnya. Dirnya tidak tega melihat jiwa manusia dalam penderitaan dan kegelapan pada masanya. Kemudian dia mencari pencerahan (dalam) upayanya menyelamatkan jiwa-jiwa manusia dari penderitaan dunia. 


Banyak sekali manusia-manusia yang sempat tercatat sejarah yang mengabdikan dirinya demi harkat kemanusiaan itu sendiri, tanpa pamrih. Dan lebih banyak lagi lainnya yang tidak tercatat. Begitu saja dilupakan. Mereka berlepas diri dari pertikaian antar kelompok.Mereka datang hanya ingin menyelamatkan (jiwa) manusia.


Kesadaran yang di sempurnakan


Kesadaran manusia untuk menyelamatkan manusia lainnya. Jiwa yang penuh empati, iwa yang penuh kasih sayang, welas asih. Memiliki keprihatinan yang dalam. Jiwa yang senantiasa hanya berdoa kepada Tuhannya. Jiwa yang langsung berada di depan untuk menyelamatkan manusia lainnya. Demi kemanusiaan itu sendiri. Jiwa seperti nilah ~Jiwa yang ‘cerdas’.


Kepada jiwa-jiwa seperti ini, Tuhan mengajarkan arti ‘manusia’. Kepada jiwa-jiwa seperti inilah, Tuhan menyebut dengan mesra.    Jiwa-jiwa seperti inilah, yang dalam keyakinannya, dalam keprihatinannya, berusaha menyelamatkan jiwa-jiwa mansuia yang mengalami ‘penderitaan’. Jiwa-jiwa seperti inilah yang dengan segenap jiwa raganya ingin menyelamatkan jiwa manusia agar selamat dunia dan akherat.


Jiwa-jiwa seperti ini, dalam keadaannya sering diangap seperti ‘orang gila’, karena mereka berani menabrak ‘main stream’ yang ada. Mereka tidak takut akan berbenturan kepada siapa saja.


Menjadi guratan garis yang membingungkan. Sketsa yang kadang tak sama. Bagimana manusia di dewasakan dengan kepedihan hidup, dengan kehilangan harta dan nyawa, dengan ketakutan atas peperangan.  Siapakah manusia yang paling bertakwa jika mereka di gulirkan semua itu. Dengan cara bagaimana mereka menuliskan goresannya di jiwa-jiwa mereka. Apakah mereka akan tetap ber syukur ataukah mereka akan kafir dan menghujat Tuhannya.


Kasus Rohingya menyisakan banyak misteri, kasus Sampang, kasus Sukabumi, dan masih banyak sekali di negri ini. Bila kita menjelajah ke seantero negri maka kita akan dapati hal yang sama, di Afganistan, Suriah, Irak, Turki, dan masih banyak lagi lainnya.


Guratan sketsa yang begitu dalam, menyentuh kepada nurani. Akankan jiwa tergerak, menyingsingkan lengan baju, tak peduli ini perang siapa (?). Mereka tak peduli siapakah yang menang dalam peperangan ini. Mereka tidak berpihak kepada siapa-siapa. Mereka hanya berpihak kepada kemanusiaan itu sendiri. Mereka hanya peduli jiwa-jiwa yang tersakiti disana, jiwa yang berada dalam kegelapan. Mereka datang ingin menyelamatkan jiwa-jiwa tersebut.


Mereka  hanya punya satu  tujuan menyelamatkan jiwa-jiwa manusia yang terjebak diantara ketakutan dan nestapa. Mengangkat derajat dan harkat martabat mereka agar di manusiakan oleh manusia lainnya. Agar mereka nanti dapat melahirkan kesadaran baru, sebuah kesadaran bahwa kekerasan dan peperangan hanyalah kisah duka nestapa saja dan Tuhan sendiri yang akan mengajari kepada manusia-manusia yang jiwanya penuh empati.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar