Senin, 11 November 2013

TENTANG NIHILISME

Nihilisme adalah sebuah doktrin filosofi dimana gagasan aspek nilai kehidupan luhur adalah hal yang (hampir) non-eksistensial. Nihilisme menolak ide putatif akan sebuah arti agung dari tujuan mulia hidup manusia. Nihilis menilai bahwa moralitas tidak secara inheren ada, bahwa nilai dan norma adalah sebuah hal artifisial. Dari hal tersebut dapat pula diartikan bahwa nihilisme cenderung tidak mengakui batasan moralitas dan dalam hal ini: agama. Jadi mungkin dapat disimpulkan bahwa Nihilisme adalah tentang eksistensi manusia yang tidak berarti. Bisa dibilang, not giving a shit.

Istilah nihilisme mulai dikenal khalayak umum pada era 70an hingga 90an, dimana tengah ada suatu gap atau kekosongan yang besar dalam kultur pada masyarakat. Dimulai dari era 70an. Setelah lewat gairah berontak rock ‘n roll ala generasi Chuck Berry dan The Beatles, dan bahkan rock ‘n roll pada masa itu dapat dikatakan sebagai musik populer, perlahan mulai surut. Masa pasca rock ‘n roll seakan telah kehilangan tujuan yang oleh generasi sebelumnya diserukan bak perang salib, sudah tidak ramai lagi. Sudah tiada hal lagi untuk berontak. Itulah titik permasalahannya.

Pada akhir 70an muncul musik ribut nir-arti yang kelak dikenal luas sebagai ikon anti-kemapanan: Punk. Berawal dari kesuksesan The Ramones, seniman pionir dari genre punk yang, saya pikir, berhasil membawa punk kepada gelombang mainstream, walaupun masih sangat terbatas. Seakan tidak mau kalah, Inggris turut ambil andil dalam kebangkitan punk lewat Sex Pistols dan The Clash, Misfits, Joy Division, Velvet Underground, Iggy Pop.

Situasi tersebut berlangsung terus hingga pada awal 80an dimana scene punk mencapai masa keemasannya. Awalnya konsep semangat punk masih berkutat tidak jauh dari akar ideologi rock ‘n roll. Namun dalam perkembangannya, gairah punk menjadi semakin keras yang terkadang dianggap ekstrim. Di Inggris misalnya, Sex Pistols mengekspresikan sentimen anti-perang (kala itu tengah panas konflik falkland antara UK dan Argentina) lewat lagu ‘God Save The Queen’. Dalam lagu tersebut, terdapat penggalan lirik seperti berikut:

God save the queen
The fascist regime
They made you a moron
Potential H-bomb

God save the queen
She ain’t no human being
There is no future
In England’s dreaming


Dan bajingan itu berasal dari Inggris, of all places. The Clash juga angkat bicara perihal menentang perang dengan lagu seperti ‘London Calling‘ dan ‘The Call Up‘. Sebenarnya sudah terlihat unsur nihilisme sebelum tema anti-perang diusung sebagai agenda utama dalam scene punk. Malah justru sebelum muncul tema anti perang, nihilisme lah tema sentral musik punk. Anarchy In The UKWhite Riot. Nah buat saya, paling cocok menggambarkan situasi tersebut adalah penggalan lirik dari lagu White Riot:
White riot - I want to riot
White riot - a riot of my own
Sex Pistols punya Anarchy In The UKPretty Vacant, saya pikir kalian mengerti.

Gerombolan berandalan itu berusaha terlalu keras untuk berlagak tidak peduli. Maksud saya, what’s with them social protest songs? Career Opportunities? anti-war? fascist regime? sounds like a certain long-haired-ex-rockstar-turned-contemporary-prophet, Entahlah.

Pada akhir 80an dunia literatur juga turut terpengaruh oleh masuknya gagasan-gagasan nihilisme dan hal yang berkaitan seperti eksistensialisme dan kesendirian. Karangan macam Kafka dan Tolstoy mulai banyak digemari. Bahkan salah satu buku yang kelak kemudian hari menjadi karya legendaris, Norwegian Wood, a nostalgic story of loss, solitude, and sexuality, karya Haruki Murakami, menjadi sebuah fenomena ketika penjualan buku tersebut menembus rekor baik nasional maupun internasional, hingga sang penulis merasa ketenarannya sangat, sangat, mengganggu hinggai ia memutuskan untuk hidup di pengasingan (crete, yunani kalau tidak salah) hanya untuk menghindarinya. Untung saja tidak seperti seorang rocker depresif pecandu berat narkoba legendaris.

Nah, akhirnya sampailah pada Legenda (sayangnya bukan) generasi saya. Yah memang tidak bisa mengaku ‘Generasi X’ atau yang biasa dielukan the so-called generasi 90an, tapi saya dapat pastikan, pengaruh kuat nihilisme era masyhur kalian itu kurang lebih untuk saya, rasanya sama.

Nirvana. Hmm... Flanel, garage rock, heroin, nihilistic lifestyle, glorified self-worthlessness, nothing, whatever, nevermind, Dark, Depressive. Not giving a shit. Entahlah. Membenci diri merupakan motif tematik brutal yang berulang dalam konteks lirikal Nirvana. Dalam album Nevermind, Nirvana mengubah suara, tampilan, dan perasaan dari musik keras, merubahnya dari nuansa bombastis, flamboyan, dan hedonis berlebih (pikirkan Poison, Motley Crue, Whitesnake, dan musik ‘Hair Metal’ populer lainnya menjadi sesuatu yang sangat muram, gelap, dan luar biasa depresif.

Cobain mungkin telah memukul postur politik tertentu dalam cara kecil dan insignifikan, namun pada intinya ia tampak tidak begitu percaya. Nihilisme, ketika benar-benar dianut tanpa kompromi, pasti akan berakhir pahit. Dalam kasus Kurt, hal tersebut mengarah pada kecanduan narkoba, depresi, dan pada akhirnya bunuh diri. Bahkan cintanya pada bayi perempuannya itu tidak dapat menghalangi kejatuhannya hingga pada akhirnya mencapai titik kehampaan.

Nihilisme Kurt, saya pikir, merupakan sebuah kutukan pada keberadaannya, menyebabkan banyak kebiasaan dan pilihan buruk, dan akhirnya tindakan sangat tidak tercela berupa pemusnahan diri. Secara artistik, walau bagaimanapun, itu adalah ketidakpuasan diri tanpa henti terhadap semua pergerakan, kepercayaan, dan laknat ortodoks yang meminjamkan kekuatan dan semacam integritas berantakan.

Yah pada akhirnya, kita semua harus melewati kegelapan untuk mencapai cahaya di ujung lorong. Cobain tidak dapat keluar dari kegelapan itu, namun sementara tenggelam didalamnya, ia merekam kesuraman dan horor dari dalamnya secara cemerlang dan tanpa ampun. Nevermind telah menjadi pelipur lara untuk jiwa yang kesepian dan hampa dalam dua dekade terakhirva, hanya dengan mengingatkan bahwa mereka tidak sendirian. Seberapa overrated yang bahkan Kurt Cobain sendiri berpikir demikian, pencapaian semacam itu selayaknya tidak dianggap rendah, saya pikir.

Nah sekarang bicara tentang anak jaman sekarang. Kan banyak tuh yang (ngakunya) suka Nirvana. Suka sex pistols. Suka punk. Suka lagak not giving a shit. Buat saya sih, lucu aja. Para cecunguk ini identik dengan atribut band-band diatas, terlepas dari suka atau tidak. Mereka biasa bergerombol. Yang jadi perkara adalah apakah perilaku demikian produktif? Saya pikir tidak. Heck, bahkan konsumtif. Defisit. Tapi itu diluar topik, lain waktu saya bahas.

Nah jadi apakah mereka-mereka ini yang disebut fanatik sex pistols? Nirvana? Ngerti musik katanya. Entah ya saya tidak mau generalisasi, tapi berdasarkan pengalaman saya interaksi dengan mereka, hal yang dipedulikan hanyalah sosial media online, berfoto, login path. Aduh. Tak perlulah jauh-jauh bicara anti-kemapanan. Nihilist? Ha. Fag.

Ada juga jenis ‘nihilist’ satu lagi. Jenis ini biasa ditemui di perempatan jalan besar. Dengan gaya yang terkadang lebih underground dari fans underground sejati, mereka biasa kumpul di tempat-tempat umum -tak peduli apakah kehadirannya diterima atau tidak. Biasanya mengaku fanatik punk.

Hmm Punk!!! walah. Ya toh tidak bisa menyatakan salah juga. Tapi persepsi punk di Indonesia beda sekali. Selalu identik dengan skate, aibon, anti-intelektual. Padahal, punk tidak -melulu- begitu. Butuh kapasitas berpikir yang cukup baik untuk dapat menciptakan sebuah karya remonstrasi. John Cale, Malcolm Mclaren, Taufiq Rahman. Intelek.

Ah jadi bicara punk. Ya sudahlah, mungkin sekian pandangan dangkal saya tentang nihilisme, yang kebawahnya agak keluar topik. Okelah.
Oh well, whatever, nevermind.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar